Even if you are as strong as Samson, I bet you still need your own corner to cry!
Bibirnya menyunggingkan senyum. Kaku dan tidak ceria. Dia membuat simpul semu pada muka itu. Simpul yang tidak bisa dibuka dengan indah bila hati tidak mau. Dia masih bersikukuh untuk terus tersenyum bahagia meskipun kekakuan yang diharapkannya mencair dari senyuman itu terus saja mengganggu. Dan harapan akan kekakuan yang akan mencair itu hanyalah dalam mimpi semu, semu senyumannya :)
Jangan.. jangan paksa bibirmu untuk tersenyum, Kaoru.
Dia berusaha menepis suara-suara yang selalu ada di otaknya. Ingin sendirian, namun tidak ada yang membiarkan. Kenapa di hidup ini dia tidak bisa merasakan kesepian? Kenapa harus terus dalam keramaian. Meskipun hening, tapi rasanya seperti di pasar. Ingin lari tak tentu tujuan, tapi selalu ada yang akan mengikuti dari belakang. Dia ingin sendiri, ingin lepas dari suara-suara ini. Atau, dia hanya takut untuk sendiri hingga menyalahkan kesepian ini?
"Suratun Al-Fatihah.. Audzubillah.."
"hhh.. hu.. hu.. huhuhu.. hiks.. hiks.."
Begitu banyak suara di bumi ini. Kenapa suara itu tak pernah henti? Ia mengikutiku dengan pasti. Aku sudah bosan dengan ketidak sendirian ini. Kalau katanya manusia butuh privasi, aku akan menjawab tegas dengan anggukan kepala. Mereka memang butuh butuh pegangan, seseorang untuk berlindung. Tapi mereka juga bisa berdiri sendiri. Egoisme bukan suatu hal yang tabu dan bisa disalahkan. Hanya pilihan sikap yang harus kita ambil dalam langkah tertentu. Tapi, apakah ini karena aku yang mementingkan privasi, atau takut dan tidak siap bila tidak sendirian? Aku tidak tahu.
Aku benci semua orang disini. Orang-orang yang mengelilingi ruangan ini.
Aku benci diriku yang sedang dikelilingi, yang ikut menimbulkan bunyi, dan memaksa bibirku tersenyum kaku seakan tidak terjadi apa-apa pada diri saat ini.
Wht? :|
Sudah dua jam dia berhenti dari senyuman yang dipaksakan. Dia sudah tidak tersenyum kaku lagi, tapi malah membuatnya terlihat lebih menyedihkan. Dia diam. Tidak bergeming. Dia kosong, kosong yang tidak punya arti. Kalau katanya manusia harus memberi partisipasi, itu benar adanya. Aku sebagai manusia akan menjawab dengan anggukan kepala. Dia begitu ingin keheningan. Dia begitu benci suara yang ditimbulkan banyak orang. Dia benci mendengar semua tangisan. Tetlalu riskan bahwa orang sekuat dia merasa tidak punya lagi tempat berpegang Dia ingin pulang. Dia tahu arahnya. Dia tahu dimana letaknya. Hanya saja dia tidak mau pulang sendirian. Dia ingin tinggal, sampai bisa menemukan pegangan lain yang bisa menyangganya, yang tidak mungkin akan kembali lagi untuknya.
Jangan.. jangan paksa bibirmu untuk tersenyum, Kaoru.
Dia berusaha menepis suara-suara yang selalu ada di otaknya. Ingin sendirian, namun tidak ada yang membiarkan. Kenapa di hidup ini dia tidak bisa merasakan kesepian? Kenapa harus terus dalam keramaian. Meskipun hening, tapi rasanya seperti di pasar. Ingin lari tak tentu tujuan, tapi selalu ada yang akan mengikuti dari belakang. Dia ingin sendiri, ingin lepas dari suara-suara ini. Atau, dia hanya takut untuk sendiri hingga menyalahkan kesepian ini?
"Suratun Al-Fatihah.. Audzubillah.."
"hhh.. hu.. hu.. huhuhu.. hiks.. hiks.."
Begitu banyak suara di bumi ini. Kenapa suara itu tak pernah henti? Ia mengikutiku dengan pasti. Aku sudah bosan dengan ketidak sendirian ini. Kalau katanya manusia butuh privasi, aku akan menjawab tegas dengan anggukan kepala. Mereka memang butuh butuh pegangan, seseorang untuk berlindung. Tapi mereka juga bisa berdiri sendiri. Egoisme bukan suatu hal yang tabu dan bisa disalahkan. Hanya pilihan sikap yang harus kita ambil dalam langkah tertentu. Tapi, apakah ini karena aku yang mementingkan privasi, atau takut dan tidak siap bila tidak sendirian? Aku tidak tahu.
Aku benci semua orang disini. Orang-orang yang mengelilingi ruangan ini.
Aku benci diriku yang sedang dikelilingi, yang ikut menimbulkan bunyi, dan memaksa bibirku tersenyum kaku seakan tidak terjadi apa-apa pada diri saat ini.
Wht? :|
Sudah dua jam dia berhenti dari senyuman yang dipaksakan. Dia sudah tidak tersenyum kaku lagi, tapi malah membuatnya terlihat lebih menyedihkan. Dia diam. Tidak bergeming. Dia kosong, kosong yang tidak punya arti. Kalau katanya manusia harus memberi partisipasi, itu benar adanya. Aku sebagai manusia akan menjawab dengan anggukan kepala. Dia begitu ingin keheningan. Dia begitu benci suara yang ditimbulkan banyak orang. Dia benci mendengar semua tangisan. Tetlalu riskan bahwa orang sekuat dia merasa tidak punya lagi tempat berpegang Dia ingin pulang. Dia tahu arahnya. Dia tahu dimana letaknya. Hanya saja dia tidak mau pulang sendirian. Dia ingin tinggal, sampai bisa menemukan pegangan lain yang bisa menyangganya, yang tidak mungkin akan kembali lagi untuknya.